Setiap
kali menghadiri pelatihan di HMI, satu ungkapan yang sering kali dikatakan
adalah "Proses tidak akan menghianati hasil.” Namun, dalam lingkungan
perkaderan HMI, pernyataan itu lebih dari sekadar motivasi ia adalah semangat
dari sebuah perjuangan. Banyak yang berpikir HMI hanya tentang diskusi formal,
tugas panitia, atau level pelatihan. Sebenarnya, lebih dari itu, HMI adalah
lembaga pendidikan kehidupan yang membekali kader untuk menjadi agen perubahan
dalam masyarakat.
Dalam
konteks organisasi, khususnya di HMI, perkaderan bukan hanya sekadar tradisi,
tetapi juga kebutuhan yang penting. Tanpa ada kaderisasi yang terencana dan
menyadari tujuan, organisasi akan kehilangan arah serta nilai intinya. Sejak
awal, HMI telah menjadikan perkaderan sebagai fondasi gerakannya, karena mereka
sadar bahwa transformasi tidak mungkin dilakukan oleh orang-orang yang tidak
terdidik perubahan hanya dapat terwujud jika ada individu-individu yang kuat
secara intelektual, matang secara spiritual, dan peduli secara sosial.
Di
sinilah perkaderan berfungsi sebagai tempat pembentukan lokasi untuk membangun
karakter, meningkatkan kemampuan berpikir kritis, dan melatih kepedulian
sosial. Tidak mengherankan jika proses perkaderan di HMI bukan hanya teori,
tetapi juga praktik kepemimpinan yang langsung berhubungan dengan kehidupan
sehari-hari kadernya. Jangan salah paham, LK 1 dan LK 2 bukanlah akhir dari
proses, tetapi langkah pertama. Banyak kader yang berpikir bahwa segala
sesuatunya selesai setelah menerima sertifikat. Sebenarnya, inti dari
kaderisasi bukanlah pada sertifikat yang diperoleh, melainkan seberapa baik
pengetahuan dan nilai-nilai yang didapat diterapkan dalam kehidupan pribadi
serta sosial mereka.
Perkaderan
HMI seharusnya menghasilkan individu yang berani berpikir berbeda, terbuka
untuk berdialog, dan memiliki semangat untuk memperbaiki keadaan meskipun
dimulai dari langkah kecil. Kader tidak hanya menjadi "anggota
aktif", tetapi lebih dari itu, mereka menjadi agen perubahan yang bisa
diandalkan oleh masyarakat dan bangsa. Tantangan sebenarnya bukan saat kita
mendengarkan materi, tetapi setelah keluar dari forum. Di sinilah mental kader
diuji apakah ia mampu menjaga integritas, tetap produktif di tengah godaan
praktis, dan terus belajar meskipun tidak ada supervisi. Kader sejati tidak
menunggu instruksi, melainkan bergerak dari kesadaran diri. Ia tidak menunggu
kesempatan, tetapi menciptakan peluang. Bahkan di luar forum, seorang kader HMI
tetap membawa nilai-nilai keislaman dan keindonesiaan dalam setiap langkahnya baik
sebagai mahasiswa, aktivis sosial, penulis, pengajar, ataupun pejabat publik.
Saat
ini, kaderisasi menghadapi tantangan baru era digital yang cepat, sifat
individualistis, dan kadang dipenuhi oleh ilusi pencitraan. Banyak kader yang
lebih fokus pada penciptaan citra di media sosial daripada meningkatkan potensi
diri mereka. Oleh karena itu, sangat penting bagi HMI untuk terus menyesuaikan
metode perkaderannya.Jangan hanya menghadirkan pembicara, tetapi juga
fasilitator perubahan. Jangan hanya membahas sejarah, tetapi juga merencanakan
masa depan. Sebab, kader yang dibentuk hari ini akan menghadapi dunia yang jauh
berbeda di kemudian hari.
Perkaderan
juga perlu menanamkan nilai-nilai solidaritas, karena tanpa rasa memiliki satu
sama lain, HMI akan menjadi tempat formalitas semata. Kita memerlukan kader
yang saling mendukung, bukan saling menjatuhkan. Kader yang tumbuh bersama,
bukan bersaing untuk kepentingan pribadi. Budaya kolektif harus lebih kuat
dibandingkan dengan ego masing-masing. Solidaritas ini juga harus menjangkau di
luar jejaring HMI. Anggota HMI seharusnya berada di tengah umat, bersatu dengan
masyarakat, bukan terpisah atau merasa lebih unggul. Sebab, yang sebenarnya
adalah, kaderisasi bukan untuk menciptakan kelompok elit dalam organisasi,
melainkan sebagai pelayan bagi umat dan bangsa.
Menjadi bagian dari HMI bukan hanya tentang berapa banyak forum yang diikuti, tetapi tentang bagaimana forum tersebut mengubah pola pikir dan gaya hidup kita. Jadilah kader yang hadir bukan sekadar di daftar hadir, tetapi juga di tengah perubahan. Karena pada akhirnya, kaderisasi bukan hanya rutinitas organisasi melainkan proses panjang menuju kedewasaan berpikir dan keteguhan prinsip. Kita memerlukan lebih banyak kader yang tidak hanya bangga menyatakan “saya anak HMI”, tetapi juga siap menjawab “apa yang telah saya lakukan untuk umat, untuk bangsa? “ Ketika kita semua dapat menjawab pertanyaan tersebut dengan jujur dan melalui tindakan nyata, saat itulah HMI akan benar-benar berperan dalam perubahan di Indonesia.
Oleh: Eni Fatmawati Ketua Umum Kohati HMI Komisariat Dakwah
0 Comments