![]() |
Zidna Azzahra (Dokumen Pribadi) |
“Pasal yang seakan-akan menakut-nakuti masyarakat itu harus dibatalkan, karena tidak sesuai dengan napas konstitusi yang melindungi warga untuk menyatakan pendapat,” (Pakar Hukum Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Bivitri Susanti, bbc.com).
Revisi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3) yang telah disahkan pada rapat paripurna hari Senin, 12 Februari lalu menuai beberapa kontroversi di kalangan masyarakat. Pengesahan revisi UU MD3 tersebut dinilai sebagai kemunduran negeri ini dalam berdemokrasi. Negara Indonesia yang mempunyai citra demokrasi seakan dirusak oleh DPR dalam undang-undang tersebut.
Pasalnya, DPR memasukkan pasal tentang pengkritikan untuk melawan rakyat di dalam UU MD3. Dalam UU tersebut, masyarakat tidak diberikan kebebasan untuk menyampaikan pendapat. Hal itu tertera pada Pasal 122 huruf K yang mengatur Mahkamah Kehormatan Dewan bisa mengambil langkah hukum dan atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR. Bahkan UU MD3 juga sempat dianggap sebagai kegagalan DPR dalam melaksanakan sila keempat pancasila.
akar hukum pidana Suparji Ahmad menganggap latar belakang pembuatan undang-undang itu sangat tidak masuk akal. Jika dilihat dari segi proses dan konteks, latar belakangnya amat menggelikan. Terlebih, banyak materi yang bertentangan dengan nilai demokrasi dan nilai hukum karena adanya imunitas, antikritik, dan juga upaya keputusan sepihak. Suparji juga menyebutkan bahwa revisi UU MD3 tersebut sebenarnya bermula dari keinginan beberapa fraksi yang merasa memiliki hak untuk menjadi pemimpin, tetapi tidak kebagian kursi.
Sebelum diparipurnakan, seharusnya UU MD3 harus ada pembahasan ulang lagi. Pembahasan ulang sangat penting sekali, mengingat ketika UU MD3 telah diparipurnakan ada dua fraksi yang tidak setuju, dan hal itu juga yang menimbulkan polemik di masyarakat.
Baca Juga: Ulama-Umara; Resolusi Pemimpin Negeri
Dalam membincangkan UU MD3 ini, kita juga jangan melupakan masyarakat awam. Masyarakat awam yang dimaksud di sini adalah masyarakat yang bisa dikatakan lowpengetahuannya mengenai perpolitikan, pemerintahan, dan perundang-undangan. Namun, seperti kita ketahui bahwa masyarakat Indonesia sangat beragam, di mana ada yang berpendidikan tinggi dan ada juga yang pendidikannya rendah.
Berdasarkan data yang ada, mayoritas masyarakat awam menilai bahwa disahkannya revisi UU MD3 menimbulkan social inequality di mana mereka merasa bahwa DPR terlalu berlebihan dalam memproteksi dirinya. Masyarakat mengkhawatirkan UU MD3 yang seakan-akan melindungi DPR dapat dijadikan alat untuk membungkam kritik masyarakat, apalagi kritik terkait dengan korupsi. Dengan adanya revisi UU MD3 ini, DPR menjadi semakin kuat dan kebebasan berpendapat menjadi semakin terancam.
Tak hanya itu saja, bahkan masyarakat juga berpandangan bahwa DPR sangat tertutup dalam pembahasan revisi UU MD3. Masyarakat menduga, pembahasan revisi UU MD3 lebih mengedepankan deal politic terkait beberapa pasal, salah satunya soal hak imunitas DPR. Peneliti Formappi Lucius Karus pun berpendapat bahwa pembahasan revisi UU MD3 ini tidak terbuka dan mencerminkan sikap anti demokrasi. Selain itu, DPR juga melawan prinsip semua warga negara yang sama di depan hukum.
Pasal yang menyebutkan kewenangan DPR dalam memanggil paksa orang ini berpotensi besar membuat DPR sebagai lembaga hukum yang berhak memanggil paksa pihak-pihak yang dinilai tidak cooperative. Padahal sebagai sebuah lembaga, pemanggilan dengan cara seperti ini rawan diwarnai kepentingan-kepentingan politik individu, partai politik, maupun kepentingan DPR sendiri.
Baca Juga: Rekonstruksi Kepribadian Pemimpin
Terkait pasal tentang pengkritik DPR bisa dipidana justru berpotensi membungkam public critics terhadap kualitas kinerja wakil mereka di parlemen. Bukankah kritik dan masukan publik itu sangat penting? Sejauh mana batasan kritik yang dapat diterima dan yang dapat dipidanakan? Ini menjadi kontroversi karena garis tersebut masih belum jelas.
Selain itu, pasal mengenai imunitas atau pemanggilan anggota DPR oleh KPK atau Polri yang harus dengan persetujuan presiden berpotensi mempersulit upaya penegakan hukum. Terlebih jika anggota DPR terindikasi melakukan tindak pidana seperti korupsi maupun pidana lain. KPK atau Polri akan merasa kesusahan untuk memanggil anggota DPR karena harus meminta izin dari presiden terlebih dahulu. Proses ini tentu akan memakan waktu dan melalui birokrasi yang panjang.
Pengesahan revisi UU MD3 yang menimbulkan berbagai kontroversi memang dinilai hanya menguntungkan pihak DPR saja. Hal itu juga dianggap membunuh citra demokrasi di negara ini. Padahal sebagai negara demokrasi, Indonesia harus bisa menjalankan pemerintahan yang dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Di balik itu semua, kita semua tentunya juga tidak ingin kembali lagi akan hadirnya otoriterisme seperti masa Orde Baru. Wallahu a’lam.
Oleh: Zidna Azzahra, Penulis adalah kader HMI Komisariat Dakwah, Aktivis LKMM HMJ Ilmu Politik UIN Walisongo Semarang
Sumber: Militan.co
0 Comments